Minggu, 27 Agustus 2017

TRADISI SEKATEN

TRADISI KEBUDAYAAN ISLAM
YANG MASIH BERKEMBANG PADA MASA KINI
“ SEKATEN ”



DISUSUN OLEH :

                   Nama    :  Sayekti Uji H.
                     No.        :  31
                     Kelas     :  XI MIPA 6


SMA NEGERI 1 BLORA

TAHUN PELAJARAN 2016/2017

SEKATEN

A.   Pengertian Sekaten
Sekaten berasal dari bahasa Arab, yaitu syahadatain yaitu kalimat syahadat yang merupakan suatu kalimat yang harus dibaca oleh seseorang untuk masuk Islam, yang mempunyai arti: Tiada tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Sekaten selain berasal dari kata syahadatain juga berasal dari kata Sahutain (menghentikan atau menghindari perkara dua, yakni sifat pelacuran dan penyelewengan ), Sakhatain (menghilangkan perkara dua, yaitu watak hewan dan sifat setan, karena watak tersebut sumber kerusakan), Sakhotain (menanamkan perkara dua, yaitu selalu memelihara budi suci atau budi luhur dan selalu menghambakan diri pada Tuhan), Sekati (setimbang, orang hidup harus bisa menimbang atau menilai hal-hal yang baik dan buruk), Sekat (batas, orang hidup harus membatasi diri untuk tidak berbuat jahat serta tahu batas-batas kebaikan dan kejahatan).
B.   Sejarah Sekaten
Kerajaan Demak pada pemerintahan Raden Patah (Sultan Ngabdul Surya Ngalam I) diadakan perubahan drastis tanpa disosialisasikan dengan para Wali terlebih dahulu, yaitu Selamatan Negara Tahunan ditiadakan karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran Agama Islam. Hal tersebut menimbulkan keresahan bagi masyarakat yang tidak bisa menerima kehendak Sultan. Bersamaan dengan ditiadakannya upacara tersebut diseluruh wilayah Kerajaan Demak timbul wabah penyakit yang banyak menyebabkan kematian  warga masyarakat. Atas nasihat Wali Sanga untuk membangkitkan lagi kepercayaan masyarakat, maka Sultan Demak berkenan mengadakan kembali Upacara Selamatan Negara Tahunan yang dikemas dan diselaraskan dengan ajaran Islam  dibawah binaan Sunan Giri dan Sunan Bonang (Wignyasubrata : 2). Tidak lama  kemudian, wabah penyakit tersebut menghilang dan rakyat hidup tenteram. Sejak saat itulah Perayaan Sekaten diselenggarakan sebagai perwujudan pengganti serta pelestarian Selamatan Negara Tahunan yang selalu diselenggarakan secara turun temurun.
Nama Sekaten itu sendiri diperkenalkan oleh Raden Patah di Demak abad 16. Saat itu orang Jawa beralih memeluk agama Islam dengan mengucapkan syahadatain. Oleh karena itu, penggunaan nama Sekaten pada perayaan tersebut menjadi terkenal. Perayaan Sekaten kemudian diteruskan oleh sultan-sultan berikutnya sehingga menjadi perayaan tahunan yang diperingati oleh banyak masyarakat. Sekaten menjadi hasil dari interaksi antara budaya Hindu-Budha dan Islam yang berbentuk kebudayaan. Proses interaksi tersebut dapat membantu mempercepat  penyebaran agama islam di Pulau Jawa. Di Yogyakarta sendiri sekaten yang menjadi salah satu bentuk adat Keraton Kasultanan Yogyakarta untuk pertama kalinya diadakan oleh Sultan I Kasultanan Yogyakarta yaitu Sri Sultan Hamengkubuwono I. Itulah sebabnya, sejarah Sekaten di Kasultanan Yogyakarta menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sejarah berdirinya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat itu sendiri.
      Sekaten pada masa Hamengkubuwono I merupakan upacara Kerajaan yang melibatkan seluruh pegawai Keraton, seluruh aparat Kerajaan, dan seluruh lapisan masyarakat. Sekaten yang bersifat keagamaan dikaitkan dengan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Hal itu juga menjabarkan gelar Sultan yang bersifat kemusliman. Sekaten yang menurut sejarahnya merupakan upacara tradisional keagamaan Islam dalam membentuk akhlak dan budi pekerti luhur, tetap dilestarikan oleh para pengganti  Sri Sultan Hamengkubuwono I. Terbentuknya tradisi Sekaten merupakan perwujudan dari masuknya dan tersosialisasinya Islam ke Indonesia secara damai, karena Islam itu sendiri tidak mengenal kekerasan. Itulah sebabnya agama Islam mendapat banyak simpati dari masyarakat di pulau Jawa.  Dalam perkembangannya tradisi Sekaten tidak lagi menjadi milik keraton atau kasunanan, tetapi masyarakat juga merasa ikut. Bagi sebagian besar masyarakat di Provinsi DIY, baik masyarakat perkotaan maupun masyarakat pedesaan tradisi Sekaten selain dinilai sebagai upacara religius keislaman yang bercorak khas kejawen dengan segala hikmah dan berkah, juga merupakan kebanggaan daerah yang selalu mengingatkan kepada sejarah zaman keemasan Kerajaan Mataram Islam yang didirikan oleh Panembahan  Senopati (Soelarto, 1996: 24). Dalam hal ini masyarakat Yogyakarta yang setiap tahun tepatnya bulan Maulud  selalu mengadakan tradisi Sekatenan menganggap upacara Sekaten sangat perlu untuk dilaksanakan.

C.   Implementasi Budaya Sekaten Dalam Pembentukan Akhlak
 Selain melaksanakan tradisi leluhur yang telah dilaksanakan selama berabad-abad lamanya, masyarakat juga yakin Sekaten bermanfaat dan mempunyai peran penting dalam proses pembentukan akhlak dan budi pekerti luhur masyarakat.
Tradisi Sekaten mengandung tiga dimensi penting yaitu kultural, religius, dan historis.
1.      Makna Religius
Berkaitan dengan kewajiban Sultan untuk mensyiarkan ajaran agama Islam dalam Kerajaannya, sesuai dengan kedudukan dan peranan Sultan sebagai yang  tercantum dalam rangkaian gelarnya : Sayidin Panatagama Kalifatullah. Makna historis, berkaitan dengan keabsahan Sultan dan Kerajaannya sebagai ahli waris sah dari Panembahan Senopati serta Kerajaan Mataram-Islam.
2.      Makna Kultural
 Berkaitan dengan Sultan sebagai pemimpin suku bangsa Jawa warisan para leluhur yang sangat kuat diwarnai oleh kepercayaan lama. Dalam Upacara Tradisi Sekaten terdapat gunungan yang merupakan simbol atau lambang yang bermakna positif. Berbagai jenis makanan yang disiapkan dalam gunungan tersebut mengandung nilai-nilai luhur dan harapan yang baik bagi masyarakat pendukungnya. Adapun nilai-nilai simbolis yang terkandung dalam setiap makanan atau sesaji yang terdapat dalam gunungan, canthangbalung, sirih, dan pecut yang terdapat pada Upacara Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta tersebut sebagai berikut:
a)      Gunungan kakung; Gunungan selain bermakna kesuburan juga mempunyai arti simbolik lain, gunungan kakung melambangkan sifat baik, sedangkan gunungan putri melambangkan sifat buruk. Dua sifat ini bila berdiri sendiri akan menimbulkan sifat perusak, sehingga dua sifat ini harus disatukan. Disinilah peran raja untuk menyatukan dua kekuatan itu sehingga akan menjadi satu kekuatan yang besar untuk kejayaan keraton. Dari sinilah raja mengeluarkan sepasang gunungan pada waktu perayaan sekaten. Bentuk gunungan kakung dihubungkan dengan lingga atau alat vital laki-laki yang mengacu pada nilai-nilai kehidupan yang menggambarkan adanya proses  penciptaan manusia atau dihubungkan dengan asal-usul manusia. Di samping itu gunungan kakung juga menggambarkan tentang dunia dan isinya yang mencakup berbagai unsur didalamnya, seperti bumi, langit, tumbuh-tumbuhan, api, hewan, dan manusia itu sendiri dengan berbagai jenis dan sifat-sifatnya. Manusia yang dimaksud adalah seorang ksatria utama yang menggambarkan seorang figur manusia ideal bagi orang Jawa.
b)      Bendera merah putih; Bendera ini ditempatkan pada ujung gunungan,  berjumlah lima buah sebagai lambang dari sebuah negara atau kerajaan. Warna merah bermakna semangat atau kebenaran, sedangkan warna putih.

3.      Makna Historis
Di lihat dari sejarahnya sekaten tidak bisa terlepas dari peran para wali sebagai penyebar agama islam di Pulau Jawa yang menjadikan sekaten suatu sarana dakwah islam dan berkaitan dengan keberadaan sultan sebagai ahli waris dari Kerajaan Mataram sebagai pencetus awal diadakannya sekaten. Sehingga yang harus dilakukan untuk merealisasikan nilai-nilai sejarah adalah dengan tetap memaknai sekaten sebagai media dakwah dan menerapkan nilai-nilai itu dalam kehidupan sehari-hari. Sejarah perayaan sekaten juga tidak terlepas dari Masjid Agung Demak yang didirikan oleh Walisanga pada tahun 1477 M. Awalnya masjid ini hanya berfungsi sebagai tempat interaksi antara Allah dengan hambanya. Seiring berjalannya waktu masjid ini menjadi multi fungsi karena digunakan sebagai ajang kegiatan keagamaan, tempat musyawarah para wali, dan sebagai prasarana penyelenggaraan perayaan sekaten yang merupakan perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW yang bertepatan pada tanggal 12 bulan Maulid.

D.   Prosesi Upacara Sekaten
serangkaian prosesi dari awal mulainya upacara sekaten dimulai sampai penutup.
               i.            Perayaan Upacara Sekaten diawali dengan diadakannya slametan atau wilujengan yang memiliki tujuan untuk mencari ketenangan. Dengan adanya slametan ini berarti dimulali lah pembuatan gunungan. Perayaan ini juga menjadi pertanda akan adanya kegiatan pasar malam perayaan sekaten. Pasar malam ini berlangsung kurang lebih 40 hari sebelum perayaan grebeg maulud tiba.
             ii.            Satu minggu sebelum puncak acara, merupakan adat kebiasaan yang harus dilakukan yaitu mengeluarkan gamelan pusaka dibawa ke Masjid Agung Yogyakarta untuk diletakkan di pagongan utara dan pagongan selatan atau miyos gongso. Selama satu minggu gamelan dibunyikan terus kecuali hari Jum’at.
           iii.            Rangkaian upacara sekaten yang kedua ialah Upacara Numplak Wajik, upacara ini sebagai awal dimulainya pembuatan gunungan wadon. Upacara ini diawali dengan iringan gejog lesung yang dilakukan oleh abdi dalem konco gladhak. Tujuannya agar dalam pembuatan gunungan wadon dapat berjalan lancar. Sebelum upacara dimulai diberi sesaji oleh abdi dalem agar dalam pembuatan gunungan ini tidak mengalami hambatan. Kemudian upacara siap dimulai.
           iv.            Acara selanjutnya dilaksanakan miyos dalem di Masjid Agung Yogyakarta. Acara ini dihadiri oleh Sri Sultan, pembesar keraton, para bupati, abdi dalem keraton, dan mas jogja. Miyos dalem ini merupakan pembacaan sirotun nabi (Riwayat hidup Nabi Muhammad). Sebelum miyos dimulai Sri Sultan menyebar udhik-udhik di depan pintu pagongan selatan dan pagongan utara. Miyos dalem berakhir dengan ditandai pelaksanaan kondur gongsu atau gamelan dibawa masuk lagi ke keraton. Pada saat miyos ini Sri Sultan menuju ke masjid agung didahului 4 bergodo prajurit. Prosesi ini menandai berakhirnya pelaksanaan upacara sekaten yang akan mencapai puncak acara pada keesokan harinya.
             v.            Sebagai rangkaian upacara terakhir dari tradisi sekaten yaitu puncak acara grebeg maulud, yang ditandai dengan dikeluarkannya hajad 6 gunungan tepat tanggal 12 bulan Maulud. Gunungan dibawa ke masjid untuk didoakan yang dipimpin oleh penghulu dan kemudian gunungan menjadi rebutan masyarakat yang menonton.

E.   Makna Sekaten dalam Dakwah Islam
Penggunaan nama sekaten syarat makna dan nilai. Kata sekaten diambil dari kata syahadat yang merupakan syarat keislaman seseorang. Di jawa kata syahadatain ini lebih mudah diucap dengan kata sekaten.
Prosesi ritual sekaten diawali dengan adanya selametan dan dilengkapi dengan dibukanya pasar malam. Sebelum puncak acara, dilakukan pemindahan gamelan dari keraton untuk di bawa ke pagongan utara dan selatan. Rangkaian upacara selanjutnya adalah numplak wajik yang diiringi gejok lesung. Kemudian dilaksanakannya acara miyos dalem( Pembacaan riwayat Nabi Muhammad) di Masjid Agung. Prosesi terakhir dalam sekaten yaitu grebeg maulud yang merupakan puncak acara dan ditandai dengan dikeluarkannya gunungan yang akan diperebutkan masyarakat.
Sekaten bukan lah upacara adat biasa, akan tetapi sekaten memiliki nilai dan makna yang tersirat dalam setiap prosesi ritualnya. Seperti adanya nilai religi, sejarah, dan budaya. Dan hal  itu akan tampak jika kita benar-benar mau mengkajinya lebih dalam.
Sebagai masyarakat jawa yang terkenal dengan adat ketimuran dan selalu menjaga amanah dari para leluhurnya agar senantiasa melestarikan upacara adat yang diprakarsai oleh para leluhur seperti upacara sekaten yang penuh misi sebagai sarana dakwah islam. Tidak ada salahnya jika sekaten yang dari masa ke masa selalu mengalami perubahan dan kemajuan, karena mengingat adanya perkembangan zaman. Akan tetapi  tidak seharusnya hal itu mengurangi pokok-pokok dan nilai yang terkandung di dalamnya. Apalagi sampai merubah tujuan awal dari sekaten itu sendiri.
Saat ini nilai sekaten yang merupakan salah satu jalan penyebaran agama islam mulai mengalami degradasi karena saat ini sekaten hanya dipandang sebagai suatu hiburan masyarakat baik lokal maupun interlokal. Hal ini menjadikan suatu fenomena yang ironis, terkait dengan tujuan awal para wali terlaksananya sekaten sebagai upacara adat ajang penyebaran agama islam.
Salah satu makna religi yang terkandung didalam salah satu ritual sekaten ada sesi dari pembacaan riwayat nabi Muhammad SAW sebagi salah satu utusan Allah yang diperintahkan sebagai Rahmatan Lil-alamien yang memiliki kepribadian dan akhlak yang mulia, sehigga upacara tradisional ini sangat berperan dalam membentuk akhlak dan budi pekerti luhur. Tradisi inipun dimulai sebagai upacara religius keislaman yang bercorak kejawen dengan segala hikmah dan berkah.
F.    Kesimpulan

Upacara sekaten merupakan upacara yang memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW yang diadakan puncaknya pada tanggal 12 bulan maulud dan memiliki 3 makna yaitu kultural, religius, dan historis. Makna religius, berkaitan dengan kewajiban Sultan untuk mensyiarkan ajaran agama Islam. Makna historis, berkaitan dengan keabsahan  Sultan dan Kerajaannya sebagai ahli waris yang sah dari Panembahan Senopati.Makna Kultural, berkaitan dengan Sultan sebagai pemimpin suku bangsa Jawa warisan para leluhur yang sangat kuat diwarnai oleh kepercayaan  lama. upacara tradisional ini sangat berperan dalam membentuk akhlak dan budi pekerti luhur. Tradisi inipun dimulai sebagai upacara religius keislaman yang bercorak kejawen dengan segala hikmah dan berkah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

organisasi internasional

ORGANISASI - ORGANISASI INTERNASONAL 1.      ASEAN Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Perbara) atau lebih populer dengan se...